Saturday, March 22, 2025

Restoran Ibu Djoe dan Tante Hoa: Restoran Rumahan dan Kopi Kecap di Tegal

Perjalanan menyusuri Pantura kali ini sudah saya rencanakan berbekal bantuan dari Google Maps. Terutama soal makan siang dan perhentian di tengah jalan. Bukan cuma soal rasa, tapi juga suasana dan harga yang bersahabat. Yang selalu bikin deg-degan saat merencanakan sebuah perhentian adalah, “semoga pilihan saya kali ini tidak mengecewakan.” Why? Soalnya kalau berhenti itu I only have one shot. Kalau salah pilih ya tidak bisa pindah.


Begitu juga ketika membuka Google Maps di kota Tegal.

Mengapa harus Tegal? Soalnya, untuk berhenti, pilih lokasi yang berada di tengah perjalanan atau saat merasa sudah cukup lelah mengemudi. Perjalanan panjang dari Jakarta menuju Semarang, atau sebaliknya, membutuhkan jeda yang tepat. Saya mempertimbangkan jarak tempuh dan perkiraan waktu tiba di lokasi makan siang. Tegal itu letaknya strategis, persis di tengah-tengah perjalanan, bisa jadi pilihan utama untuk berhenti dan mengisi perut yang keroncongan. Kotanya juga besar, dan ada beberapa pilihan kulineran yang bisa didatangi.

Restoran Ibu Djoe dan Tante Hoa adalah satu restoran yang saya sudah mampir dua kali. Yang pertama, saya dan Dudu datang di jam tanggung. Breakfast sudah selesai, tapi lunch belum mulai. Untung Mbaknya baik dan mengijinkan kami memesan menu sarapan yang masih tersedia. Makanannya enak dan harganya tidak mahal. Jadi, di kesempatan berikutnya, kami kembali lagi untuk mencicipi makan siangnya.

Restoran ini tidak sulit ditemukan karena ada di pinggir jalan besar. Kalau lewat kota Tegal, pas di perempatan Mall dan McD, kita belok kanan. Nanti restorannya ada di sebelah kiri setelah Rumah Sakit. Di depan restoran ada lukisan besar dua perempuan yang melambangkan Ibu Djoe dan Tante Hoa. Bangunannya rumah dan parkirannya besar. Masuk ke dalam restoran, ada cerita tentang Ibu Djoe dan Tante Hoa yang digambarkan dalam bentuk komik.


Dilema Memesan Makanan, Soalnya Semua Menarik


Restoran Ibu Djoe dan Tante Hoa di Tegal adalah sebuah tempat makan yang menawarkan perpaduan unik antara hidangan Indonesia dan masakan peranakan Tionghoa. Di akhir pekan, restoran ini menawarkan menu sarapan yang bentuknya comfort food, dengan harga yang belasan ribu. Saya pesan nasi uduk (10k) dan Dudu pesan nasi tim (15k) Mungkin karena saya dari Jakarta, makanya begitu makan di sini lumayan kaget dengan harganya yang terjangkau haha. Tapi ternyata porsinya besar dan rasanya enak. Apalagi, nasi uduk datang lengkap dengan kerupuk.



Di kedatangan kedua, kami datang dengan anggota keluarga lain di jam makan siang. Jadi bisa pesan makanan lebih banyak. Ayam Bambu Ibu Djoe, Nasi Bakar Kendil, Rawon, Sate Buntel, Gurame Bakar, Gurame Goreng, Nasi Bebek Goreng Kuning dan entah apa lagi ada di menu hari itu. Kalau ditanya average, atau rata-rata, rasa masakannya enak. Namun, ada beberapa masakan yang menonjol misalnya Ayam Bambu Ibu Djoe. Ayam yang dimasak di dalam bambu selalu memberikan aroma asap alami yang khas, meresap ke dalam daging ayam dan menciptakan cita rasa yang berbeda dari ayam bakar biasa. Masalahnya hanya ayam ini termasuk kategori makanan dengan bumbu pedas, jadi yang makan hanya orang dewasa saja. Nasi Bakar Kendil mengingatkan kita akan nasi liwet Sunda yang pakai teri medan. Ditulisnya porsi 2 orang tapi sebenarnya bisa untuk berempat. Satu lagi yang harus dicoba adalah Sate Buntel.

Ada satu menu yang menarik perhatian saya saat itu. Apalagi, akhir-akhir ini saya senang mencoba kopi hitam yang dicampur ingredients lain, misalnya jeruk atau strawberry. Dengan nekatnya, kami memesan secangkir kopi yang tak lazim: Kopi Kecap. Kopi hitam yang berani berpadu dengan gurihnya kecap ikan. “Sekilas mirip kopi gula aren yang manis,” begitu kata Mbak waitress saat ditanya. Benar sih, di awal-awal rasanya manis. Lalu tiba-tiba lidah dikejutkan oleh gelombang rasa gurih yang menyusup di setiap tegukan. Perpaduannya menciptakan sensasi rasa yang unik dan tak terduga. Bukan rasa kopi yang saya benci, kopi ini bukanlah teman saat otak butuh konsentrasi. Lebih cocok jadi minuman petualangan yang dicoba sekali-sekali saja.

 

Sebenarnya yang terkenal di sini bukan restorannya, tapi kecap dan sambal botolan yang dijual. Setidaknya begitu kata mama saya dan saudara yang satu generasi dengannya. “Itu kecap terkenal,” begitu komentar orang-orang. Pencarian di search engine memberikan keterangan bahwa Perusahaan Kecap DJOE HOA berdiri pada tahun 1942 di Tegal. Awalnya hanya memproduksi kecap ikan, yaitu Kecap Ikan cap Ikan Merah. Kemudian di tahun 1993, perusahaan ini memproduksi Kecap Manis cap Ikan Hitam dan Delimas. Produk yang sering saya bawa pulang sebagai oleh-oleh ke Jakarta adalah Sambel Sehat Royal Chili. Saya bukan pecinta sambal botolan, tapi yang ini entah gimana bisa dinikmati.


Perjalanan panjang menyusuri Pantura bukan sekadar tentang mencapai tujuan, tetapi juga tentang menikmati setiap momen di sepanjang jalan. Setidaknya begitu yang dulu diajarkan orang tua saya. Jadi memilih perhentian juga tidak bisa sembarangan. Memilih restoran yang tepat untuk beristirahat bukan hanya tentang mengisi perut, tetapi juga tentang memanjakan diri dengan hidangan lezat dan suasana yang nyaman. Apalagi di kunjungan kedua, saya dan Dudu road trip bersama bayi serta balita juga. Restoran yang luas, tempat bermain anak dan cukup lega untuk bawa masuk stroller, membuat Restoran Ibu Djoe dan Tante Hoa ini ideal untuk jadi tempat berhenti.

Our Date is at:
Ibu Djoe dan Tante Hoa

Jl. Kapten Sudibyo No.113C, Kemandungan, Kec. Tegal Bar., Kota Tegal, Jawa Tengah 52131

No comments:

Post a Comment

Thanks for stopping by. Please do leave your thoughts or questions, but we appreciate if you don't spam :)