Mendahului yang mudik Lebaran, tahun lalu, saya dan Dudu pulang kampung duluan di minggu kedua puasa.
Part 1: JORR - MBZ - Cikampek (Rp. 18,500 + Rp. 27,000 = Rp. 45,500)
Kami berangkat pukul 5:30 subuh dari rumah. Masuk toll JORR di gerbang tol Fatmawati, lalu lanjut sambung masuk ke Sheikh Mohamed Bin Zayed Elevated Toll Road (MBZ) sekitar pukul 6:30. Sebelum memutuskan apakah akan naik ke MBZ, kami memeriksa Google Maps. Soalnya di elevated toll road sepanjang 36.4 km itu tidak ada rest area maupun akses turun ke jalan tol Jakarta - Cikampek. Begitu tidak melihat warna merah di sepanjang, kami memilih naik MBZ. Tantangan pertama adalah hujan badai sepanjang tol Jakarta - Cikampek, yang membuat menyetir dengan kecepatan lumayan tinggi di jalan layang jadi lebih menantang.![]() |
Pemandangan Tol Cikampek Palimanan |
Part 2: Cikampek - Palimanan (Rp. 119,000) dan Palimanan - Kanci (Rp. 13,500)
Ketika tiba di Cikampek, cuaca malah cerah. Perjalanan jadi lebih menyenangkan dengan jalan tol yang lumayan lenggang, kecuali beberapa bagian yang sedang diperbaiki. Matahari yang terbit akhirnya terlihat setelah tertutup hujan badai di bagian jalan tol sebelumnya. Sekitar pukul 8:30 pagi, kami sampai di Kanci. Kami berhenti di Rest Area 207, untuk meluruskan kaki, refill kopi di Starbucks dan menentukan langkah selanjutnya.Estimasi biaya tol Jakarta-Semarang adalah sekitar Rp. 432,500 dan kenaikan harga tol ini baru saja berlaku. Jadi saya merasa rugi kalau menjalani tol yang hanya lurus saja tanpa pemandangan apa-apa dan membayar biaya lumayan mahal. Padahal kami tidak buru-buru. Setelah berhitung dan berdiskusi, saya dan Dudu akhirnya sepakat, untuk lewat jalan Pantura biasa agar bisa melintas perbatasan Jawa Barat dan Jawa Tengah dengan lebih berkesan. Kami juga berencana untuk berhenti di Tegal untuk brunch dan membeli makan siang.
![]() |
Starbucks Rest Area |
Part 3: Kanci - Losari - Brebes (tidak lewat tol)
Pantura punya banyak cerita. Saya sekeluarga sering mudik lewat Pantura sampai hafal urutan kotanya, yang membuat saya jadi dapat nilai sempurna di ujian peta buta saat SMP. Sejak ada jalan tol, mudik jadi terasa berbeda. Yang juga menjadi pembeda mudik kali ini adalah majunya teknologi. Dulu saya sekeluarga mudik mengandalkan papan penunjuk jalan dan penanda kilometer di pinggir jalan. Sekarang kita ada Google Maps yang bahkan bisa memprediksi kemacetan jalan dan memberitahu informasi baru. Misalnya, gara-gara membuka Google Maps di Rest Area 207, saya jadi tahu kalau Kanci adalah sebuah desa yang terletak di Kecamatan Astanajapura.![]() |
Keluar Tol, disambut pemandangan familiar |
Lalu Dudu kembali dengan pertanyaan yang membingungkan.
Dudu: Bedanya Desa dan Dusun apa, Ma?Waduh. Losari ini desa apa dusun? Kalau Bulakamba? Lho, Bumiayu ini di Brebes bukan Tegal? Kok Losari ke Brebes kota jadi jauh ya? Ternyata lewat Pantura lagi, setelah sekian tahun terakhir mudik lewat jalan tol dan naik kereta, membawa fakta membagongkan. Belum lagi, karena saya bilang ke Dudu kalau pantura itu singkatan dari Pantai Utara, dia jadi mencari-cari pantainya. Setiap melewati sungai, dia akan menoleh ke kiri mencari pantai yang seharusnya terlihat. Seingat saya juga pantainya terlihat sih. Tapi kok ini tidak ada ya?
Belum terjawab dusun vs desa dan rasa penasaran Dudu akan Pantai Utara Jawa, pertanyaan sudah nambah lagi.
Dudu: Ma, alun-alun itu apa?
Dua pertanyaan berhasil saya jawab sekaligus ketika kita melintasi Brebes. Dusun adalah bagian dari desa, sebuah kampung kecil yang dibentuk sesuai kebutuhan dan nilai serta adat istiadat masyarakat desa. Sementara alun-alun adalah area terbuka yang biasanya ada di depan gedung walikota atau gubernur dan digunakan untuk acara.
Dudu: Oh, taman ya?
Mama: Semacam itulah, Du. Kalau White House ada taman di sebelahnya, ya itu alun-alun.
Dudu: Lautnya kok tidak kelihatan?
Mama: Tadi pas menyeberang jembatan?
Dudu: Yang terlihat hanya kapal dalam jumlah yang banyak.
Brebes, yang ternyata jauh ujung ke ujungnya itu, ternyata memicu semakin banyak pertanyaan. Mulai dari anak-anak pramuka yang masuk di hari Sabtu. Kenapa hanya terlihat ada satu sekolah sepanjang jalan Pantura, anak-anak ke sekolah naik apa? Orang-orang yang tinggal di desa ini pekerjaannya apa? Ini sawah normal atau sawah kebanjiran? Dan lain sebagainya.
Part 4: Tegal - Pemalang (tidak lewat tol)
Pukul 10:15, kita masuk Tegal dan memutuskan berhenti di restoran Ibu Djoe dan Tante Hoa. Dari hasil Googling, setiap weekend, restoran ini menyediakan menu sarapan murah meriah. Ternyata kami datang di saat yang kurang tepat, waktu sarapan sudah berakhir dan makan siang belum dimulai. Namun karyawan restoran yang baik, mengizinkan kami memesan menu sarapan yang memang masih tersedia. Dudu memesan Nasi tim (Rp.15,000) dan saya memesan Nasi Uduk (Rp. 10,000) dan Hakao (Rp. 21,000). Total biaya dengan minum sekitar Rp. 65,000.Masakannya enak dan harganya sangat terjangkau. Nasi Uduknya disajikan dengan irisan telur dadar, tempe orek dan bihun. Plus kerupuk dan potongan timun. Nasi tim juga porsinya cukup banyak, meskipun habis itu Dudu tetap minta mampir resto fastfood karena takut kelaparan di jalan. Memang masih setengah jalan sih.
(Review tentang restoran Ibu Djoe dan Tante Hoa ada di postingan ini ya)
Lanjut perjalanan dari Tegal masuk ke Pemalang.Tujuan akhir yang dicari di Google Maps adalah “Pemalang Toll Plaza.” Kalau Brebes dan Tegal jalanan hanya satu, Pemalang ini banyak jalan alternatifnya.
Google mengarahkan masuk ke dalam kota, sementara saya mengikuti papan petunjuk jalan yang sudah tidak terawat untuk memutari kota. Dulu ketika jalan alternatif ini dibangun, saya sekeluarga senang karena tidak perlu terjebak macetnya pasar kaget, dan kegiatan lain di dalam kota Pemalang yang sibuk di akhir pekan. Sekarang sudah ada tol, kota Pemalang hanya jadi sebuah tulisan di papan penanda exit. Untungnya kali ini kami lewat jalan Alternatif karena Dudu akhirnya jadi bisa melihat laut dari jalan Pantura.
Lokasinya tepat setelah Tempat Wisata Purwahamba, Google Maps bilang namanya Pantai Purin. Sepanjang jalan setelahnya, Pantai beberapa kali terlihat mengintip saat tidak ada rumah atau bangunan lain yang menghalangi. Beberapa saat kemudian, tepat sebelum masuk Petarukan, kami berbelok masuk ke jalan toll.
Entry toll di Pemalang Toll Plaza agak tricky bagi yang belum pernah. Pintu masuk toll terlihat seperti belokan biasa dan berada di persimpangan yang sama dengan jalan masuk kembali ke dalam kota Pemalang.Sebenarnya kami tergoda untuk lanjut ke Pekalongan dan Comal, tapi hari sudah cukup siang dan kalau terlalu banyak bertualang nanti malah tidak sampai kota tujuan.
Part 5: Pemalang - Batang (Rp. 47,000) dan Batang - Semarang (Rp. 115,500)
Begitu masuk toll Pemalang Batang sekitar tengah hari, yang saya lakukan adalah mengkonfirmasi sekali lagi bahwa Semarang sudah tidak banjir dan jalanan baik-baik saja. Setelah itu tancap gas agar tiba tepat waktu. Sebenarnya dari Toll Batang - Semarang, laut pun bisa terlihat karena jalur tol yang berbelok ke utara menjelang Alas Roban. Tapi rasanya tetap berbeda karena terpisahkan jarak lumayan jauh.Dari seluruh stretch Toll Jakarta - Semarang, bagian inilah yang paling seru karena naik turun dan berkelok. Melewati Batang dan Kendal yang sudah berbenah diri jadi kawasan industri, laut di kiri dan gunung di kanan. Meskipun harganya mahal, menurut saya, ini adalah bagian tol paling worth it.
Sekitar jam 13:40, gerbang Toll Kalikangkung terlihat di depan mata. Pertanda kami sudah berhasil sampai Semarang dengan selamat, tanpa tergoda belok kanan kiri atau berhenti di coffee shop lokal atas nama petualangan. Exit di Krapyak lalu masuk kota Semarang dan tiba di hotel pas di jam Check In.
Total waktu perjalanan adalah 8 jam 30 menit sudah termasuk berhenti 2 kali untuk refill coffee dan makan siang, plus jalan pelan-pelan karena pembetulan jalan, menikmati pemandangan, dan request Dudu untuk foto gapura perbatasan kabupaten.
Biaya yang dikeluarkan untuk Toll adalah Rp. 337,000 sudah termasuk JORR Pondok Pinang yang merupakan titik awal keberangkatan saya. Lewat Pantura di sepanjang Kanci - Pemalang hemat Rp. 99,500 yang digunakan untuk brunch di Tegal (Rp. 65,000).
Not bad untuk perjalanan berdua.
No comments:
Post a Comment
Thanks for stopping by. Please do leave your thoughts or questions, but we appreciate if you don't spam :)