Sunday, May 11, 2025

Lokasi Wisata Sepanjang Busway Koridor 1

Saya bukan pengguna transportasi umum, tapi saya (akhirnya) naik busway. Yang paling sering saya tumpangi adalah busway koridor 1. Selain main dating apps di bis, saya juga senang memperhatikan jalan. Setelah sekian lama absen, dua bulan terakhir ini saya jadi sering naik busway. Parkir di Blok M Plaza, lalu lanjut dengan busway jalan-jalan keliling Jakarta. Ada rasa nostalgia karena jaman masih jadi pegawai kantoran dulu, saya bisa tiap hari naik koridor 1.

Ini adalah tempat-tempat yang bisa dikunjungi dengan naik busway koridor 1. Bukan daftar yang lengkap, karena ini hanya halte yang benar-benar pernah saya kunjungi. Tapi, setidaknya bisa memberi gambaran.


Halte: Blok M/ ASEAN/ Kejaksaan Agung
Tempat tujuan: M Bloc dan Taman Literasi Martha Christina Tiahahu

M Bloc Space adalah daerah kekinian yang populer dengan anak muda saat ini. Bertempat di bekas kompleks perumahan pegawai Peruri, lokasi ini adalah perpaduan unik antara ruang terbuka hijau, toko-toko ritel yang menjual produk lokal dan unik, berbagai pilihan kuliner. Biasanya saya ke sini untuk menghadiri event atau acara komunitas. Tempat ini ramai di akhir pekan atau sore hari sepulang kerja.

Di seberangnya, tepat di bawah stasiun MRT Blok M, ada Taman Literasi Martha Christina Tiahahu. Taman ini adalah ruang publik yang mendorong minat baca dan kegiatan literasi bagi berbagai kalangan. Ada banyak event membaca yang diadakan di amfiteater mini taman ini. Namun, buat saya, taman ini adalah lokasi menunggu busway sambungan ke arah Pondok Labu haha.

Halte: Senayan Bank DKI/ Polda Metro Jaya
Tempat tujuan: GBK

Ini dulu halte favorit, alias sering banget disamperin karena saya pernah jadi mbak-mbak SCBD. Jadi kalau pulang kantor selalu naik koridor 1 dari halte Senayan Bank DKI yang kayaknya dulu bukan ini namanya haha. Begitu juga dengan konser-konser dan acara di area GBK yang mengharuskan saya naik transport umum supaya tidak kena macet pada saat bubarannya.


Dari Halte ini kita bisa ke GBK, yang sekarang ada Hutan Kota. Bisa ke fX Sudirman atau ke area SCBD.

Halte: Bundaran HI Astra
Tempat tujuan: Bundaran HI, Grand Indonesia, Plaza Indonesi
a

Selain tentunya kita bisa ke Bundaran HI, halte ini sering jadi tempat wisata karena adanya sky deck dengan pemandangan Sudirman dan Patung Selamat Datang. Kalau di Google Maps namanya Bundaran HI Viewing Platform. Halte ini juga yang terdekat dari pusat perbelanjaan Plaza Indonesia. Bisa jalan kaki juga ke Grand Indonesia, walaupun kalau ke mall yang ini, atau ke underpass jalan Kendal, saya lebih suka turun di Tosari.

Dibandingkan halte Bundaran HI, saya lebih sering berhenti di Halte Sarinah atau yang sekarang namanya MH Thamrin. Jarak kedua halte ini tidak terlalu jauh, sekitar 750 meter dan kurang lebih 10-15 menit jalan kaki di trotoar nyaman. Di halte MH Thamrin ada pusat perbelanjaan Sarinah dan Jalan Sabang yang terkenal dengan kulinernya.

Halte: Monumen Nasional
Tempat tujuan: Monas, Museum Nasional


Dari Halte Monas, Museum Nasional hanya beberapa menit jalan kaki. Namun, museum ini bukanlah tujuan utama saya sering turun di halte Monas. Dulu, ketika masih sering naik busway, saya biasanya tukar ke Koridor 12 di Halte Kota. Masalahnya Koridor 12 ini sering PHP alias memberikan harapan palsu bahwa buswaynya masih ada. Bus mereka terakhir jam 10 malam, namun terkadang, jam 9.30 sudah tidak ada lagi. Jadi, kalau saya pulang di atas jam 9, saya akan turun di Monas dan tukar ke koridor 2 untuk pindah lagi ke koridor 10, karena kedua koridor itu sampai jam 12 malam.

Bulan puasa kemarin, saya kembali naik busway ini karena ada acara komunitas di Museum Nasional dan ternyata menyenangkan. Dari halte, kita hanya perlu menyeberang jalan, lalu masuk ke museum. Begitu juga dengan ke Monas. Halte ini adalah salah satu yang populer di hari libur, jadi kalau naik busway di akhir pekan, siap-siap tidak kebagian tempat duduk.

Halte: Kali Besar / Museum Sejarah Jakarta
Tempat tujuan: Kota Tua


Kalau turun di Halte Kali Besar, kita bisa foto-foto di toko Merah yang ada di seberang jalan. Kalau turun di Halte Museum Sejarah Jakarta, kita akan melewati daerah ramai depan Stasiun Kota dan langsung menemukan museumnya. Jarak kedua halte ini ke area lapangan di tengah Kota Tua kurang lebih sama.


Halte Kali Besar ini juga adalah tempat kita turun kalau mau pergi ke Museum Bahari. Walaupun jalan kakinya sekitar 1 kilometer dan mendaki gunung melewati lembah, serta menerjang panas terik daerah pelabuhan, tapi masih bisa dijalani.

Menjelajahi Jakarta menggunakan busway koridor 1 adalah pengalaman menyenangkan. Hanya saja, hindari jam-jam padat seperti berangkat dan pulang kantor. Atau hari libur siang-siang. Sebagai pengguna transportasi umum pemula, saya senang dengan Koridor 1 karena punya banyak tempat yang bisa digunakan untuk parkir mobil seperti Blok M atau mall-mall dan hotel di seputaran Bundaran HI.

Bisa dicoba kalau sedang malas menembus kemacetan Sudirman-Thamrin dengan mobil pribadi atau terhalang ganjil-genap sampai tempat tujuan.

Friday, May 9, 2025

Cerita Sebuah Rumah Mewah di Selatan Jakarta

Konsep Work From Cafe (WFC) yang jadi populer sejak COVID ini memberikan alternatif bagi mereka yang bosan dengan suasana monoton. Pergantian atmosfer kerja ini penting buat saya, karena dapat memicu kreativitas, mengurangi stres, dan memberikan perspektif baru. Bahkan mood menulis juga dipengaruhi oleh suasana yang ada.

Salah satu tempat yang akhir-akhir ini sering saya kunjungi adalah cafe yang sebenarnya adalah rumah. Keduanya saya tahu dari teman, namun ketagihan datang, sehingga saya kembali lagi untuk beberapa kesempatan berikutnya. Dua rumah ini hadir dengan keunikannya masing-masing. Jadi, tergantung apa yang ingin dicapai, mood seperti apa yang ingin dibangun, dua tempat ini bisa jadi pilihan WFC berikutnya.


Saya sering bercanda bahwa untuk jadi orang kaya, kita harus manifestasi dulu. Makanya saya suka kerja di rumah ini. Manifestasi sendiri maksudnya mengubah pikiran dan keyakinan menjadi kenyataan melalui fokus, afirmasi, dan visualisasi positif. Untuk itu harus ada yang terlihat: rumah mewah di Andara.

Saat memasuki gerbang The Manor Andara, kesan pertama yang menyambut adalah kemegahan dan ketenangan yang berbeda dari hiruk pikuk jalanan di luar. Kalau masuk dengan berjalan kaki mungkin lebih dramatis karena ada suara gemericik air dari air mancur di dekat gerbang utama. Apalagi kalau jalan kaki langsung berbelok menyeberangi taman.

Konon, awalnya tempat ini dikenal sebagai wedding venue. Ya, kalau melihat wujudnya sih tidak heran. Mengusung konsep bangunan seperti rumah besar bergaya Eropa klasik, dengan pilar-pilar megah dan taman yang asri. Ada beberapa bangunan di sana, selain rumah utama yang mengingatkan saya pada film Crazy Rich Asian itu. Salah satunya ternyata cafe. Suasana di The Manor Cafe terasa tenang dan elegan, dengan pilihan area indoor dan outdoor. Terutama di weekdays, karena sepi, jadi serasa rumah milik sendiri. Meskipun ada area outdoor, yang pemandangannya langsung ke air mancur dan taman yang luas, saya lebih suka ada di indoor. Soalnya, cuaca di Andara itu panas.

The Manor Cafe menawarkan beragam pilihan menu, mulai dari appetizer, main course, hingga dessert. Harganya cukup menguras kantong, namun untuk beberapa menu, terutama menu Indonesia, porsinya sebanding dengan apa yang dibayarkan. Yang paling saya suka dari menu di The Manor adalah “Indonesian Platter” yang isinya pisang goreng, singkong goreng dan bakwan goreng. Biasanya kalau datang, saya lebih suka sudah makan siang kenyang di luar lalu sibuk ngemil dan ngopi di sini sampai matahari terbenam.


Namun, jika memutuskan untuk makan siang atau makan malam di sana, saya akan memilih Nasi Goreng Kampung. Selain dapat ayam, menu ini juga dilengkapi dengan sate, telur mata sapi dan kerupuk. Sebenarnya, pastanya juga enak sih. Tapi untuk yang terbiasa makan nasi, porsinya termasuk kecil dan pasti tidak kenyang.

Beberapa hal yang perlu disiapkan kalau WFC di sini adalah:
  • Colokan yang lumayan jarang. Tidak semua meja punya colokan, hanya beberapa yang berada di sisi jendela yang menghadap ke taman. Namun, karena The Manor Cafe ini biasanya sepi, saya tidak pernah kesulitan mendapatkan tempat duduk idaman.
  • WCnya jauh. Kalau hujan, kita harus pakai payung untuk ke WC yang letaknya dekat kolam renang.
  • Bisa grounding di taman kalau stress. Tapi, hati-hati dengan nyamuk ya.
  • Parkirannya luas, hanya saja, kalau ada event, kita bisa tidak kebagian parkir.
Ketika menulis postingan ini, saya sudah tiga kali ke The Manor Andara & The Manor Cafe. Ketiganya memiliki pengalaman yang berbeda.

Pertama kali ke sana, saya datang sore hari, bertemu teman dan hanya mencoba kopi serta pastry. Selain meja kami, ada dua sampai tiga meja lain yang terisi. Kedua kalinya saya ke sana, meja saya adalah satu-satunya yang terisi. Kami sering melihat beberapa orang datang untuk melihat venue dan memesan kopi untuk takeaway, tapi tidak ada yang stay dan duduk di meja. Kami datang di siang hari dan stay sampai Cafe-nya tutup.


Kunjungan ketiga adalah yang paling ramai. Soalnya ada event di salah satu bangunan yang ada di sana. Untungnya, karena datang cukup pagi, saya masih kebagian colokan. Tapi, ya jadi tahu kalau ramai itu ternyata jadi distracted karena saya sibuk people watching. Para selebgram yang bikin konten, bolak-balik ganti baju. Lalu, ada EO yang sibuk meeting di meja sebelah, atau sekedar mangkal membereskan report setelah event selesai.

The Manor Andara & The Manor Cafe dapat dicapai dengan kendaraan umum, baik dari arah Andara maupun dari arah Pangkalan Jati. Jika membawa kendaraan pribadi, perhatikan plang “The Manor” dari pinggir jalan. Pintu masuk ke rumah mewah ini ada di samping gerbang besar, yang terlihat dikunci. Jika berhenti di pinggir jalan, siap-siap berjalan kaki sekitar 5-10 menit untuk masuk ke rumah dan mencapai cafe. Iya, rumahnya memang sebesar itu.

Our Date is At:
The Manor Andara & The Manor Cafe
Jl. Ibnu Armah No.8, Pangkalan Jati Baru, Kec. Cinere, Kota Depok, Jawa Barat 16513



Sunday, May 4, 2025

Navigating Mass Rapid Transits in Overwhelming Cities

Navigating public transportation can be a challenge when it comes to a new city. Especially when we’re not regular public transport users. Singapore used to be the training ground, with only two SMRT lines and integrated buses. Now, the neighboring country has six lines with over 140 stations. My personal favorite stop, Dhoby Ghaut has become so overwhelmingly large and confusing. The busiest station back in the day, City Hall, now shared the crowd with many other interchanges.


Since then, me and Dudu have experienced public transport, subways in particular, around the world. From London’s Underground to New York's infamous MTA Transit. Wandering around Seoul’s Metro, going up and down Bangkok’s BTS and getting lost in Paris’ Métropolitain. Not to mention KL’s Rapid Transit, Metro de Madrid and the Prague Metro. Recently, we added Los Angeles MTA to our list. Our goal is to try the well-known Tokyo Metro.

Every Subway has its own complicated map, plus language barrier if we’re traveling in non-English Speaking countries. Some of them we travelled back to a decade ago when Google Maps wasn't as advanced, and metro cards aren't as easy to get. So we do have to rely on maps and one-time tickets.

Collecting our “Transit” stories, these are things we learnt the hard way. Some of them are so basic and we were warned that when we nostalgically recall them, it becomes an inside joke.


Check the nearest exit.

Saturday, May 3, 2025

Microlibrary Warak Kayu Semarang: Where to Hide Between Books in the City Center

I first encountered this library on social media. A small yet comfortable space that invited me to visit. Even better, it’s a library. Semarang has always been my second hometown. I went back every year when I was a kid and continued to do so even after my father passed away during covid. Recently, I’m running out of places to visit in Semarang. So, I was super happy to find Microlibrary Warak Kayu and include the place in my homecoming itinerary.


Our first visit to Microlibrary Warak Kayu Semarang wasn’t as eventful. The library was unexpectedly closed on the days we’re in Semarang. I was disappointed because it was high on my list, aside from the Dharma Boutique Coffee Roaster near the hotel where I’m staying, and I’m purposefully staying over the weekdays too.

Microlibrary Warak Kayu Semarang nestled near the city center, next to a busy street. It’s a small, oddly shaped wooden structure on the parking lot near Taman Kasmaran, in between kiosks that sell flowers and Dr. Kariadi Hospital.

My first impression upon arriving at the structure is, “why is this so small?” Dudu had the same thought. It was much smaller than we expected. Yes, it’s called a micro library, but still, I expected the building to be bigger. The door was locked, but there was no notice on the outside. So, I checked their social media just to find out they are closed for the day. Too bad.

Sunday, April 27, 2025

Museum Sejarah Jakarta itu Isinya Apa Sih?

Ini adalah pertanyaan saya ketika berada di kota tua, berdiri melihat gedung dengan arsitektur Belanda yang megah di tengahnya.

“Janjian di depan Museum Fatahillah ya,” kata seorang teman kala itu. Lalu, saya kembali memandangi gedung, di depannya ada dua buah meriam yang beralih fungsi jadi tunggangan anak-anak di sekitarnya. Saya jadi was-was. “Museum Fatahillah itu Museum Sejarah Jakarta kan?”


Jawabannya iya, soalnya ini adalah Taman Fatahillah. “Ya pokoknya yang ada meriamnya itu.”

Perjalanan ke Kota Tua kali ini adalah janjian bersama teman-teman-nya Panda. Iya, Panda boneka saya yang kadang suka muncul di blog juga. Dia punya IG dan Tiktok sendiri yang isinya traveling. Follow ya di @pandatravelstory. Haha. Nah, karena ketemuan inilah, dan sudah tau kalau parkir di sana susah plus banyak premannya, maka saya dan Panda pergi ke Kota Tua naik kendaraan umum. Apa aja pilihannya?

  • Naik KRL menuju Stasiun Jakarta Kota. Lalu, jalan menyeberang dari pintu keluar yang menghadap ke Kota Tua, sekitar 5-10 menit tergantung keramaian yang ada. Yes, kalau lagi ramai, jalur pejalan kaki juga bisa “macet”.
  • Naik Busway turun di Halte Kali Besar atau Halte Museum Sejarah Jakarta. Lalu, jalan ke Kota Tua. Kalau turun di Halte Kali Besar bisa sekalian foto-foto di toko Merah yang ada di seberang jalan.

Buat yang bingung, pintu masuk museum bukan yang menghadap ke square, alias lapangan terbuka di Kota Tua, tetapi ada di sampingnya. Pintu masuk Museum ini menghadap ke beberapa cafe yang ada di Kota Tua. Tiketnya Rp. 15000 untuk orang dewasa. Bisa dibayar dengan tunai atau non-tunai. Agak kaget juga sih ternyata lumayan murah.

Anyway, setelah masuk dan berkeliling museum, saya menemukan bahwa meriam yang selalu jadi daya tarik utama Museum Fatahillah itu justru hampir terlewatkan. Kok bisa? Soalnya ternyata ada banyak cerita di dalam museumnya. Museum Sejarah Jakarta menyimpan lebih dari 23.000 koleksi benda bersejarah yang berkaitan erat dengan perkembangan kota Jakarta, mulai dari masa kerajaan hingga era kemerdekaan dan kekinian.



Setelah membeli tiket masuk, di ruangan pertama ada lukisan dan sketsa di tembok-temboknya. Biasanya ini jadi ajang tempat foto-foto bagi pengunjung. Setelah itu, kita akan bertemu ondel-ondel dan taman yang besar. Di ujung taman, dekat mushola dan pintu keluar inilah, ada dua meriam yang menjadi ciri khas museum. Namun, sebelum ke sana, kita bisa berbelok masuk ke gedung museum.

Ada dua bagian dari museum ini, yang pertama adalah ruang bawah tanah, alias penjara, dan kamar tahanan Pangeran Diponegoro. Ruang tahanan bawah tanah yang dingin dan pengap ini sempit, jadi jika museum sedang ramai, harus mengantri masuk bergantian. Kamar Tahanan Pangeran Diponegoro terletak di gedung yang sama, di bagian atas. Satu hal yang harus diperhatikan ketika berada di Museum Sejarah Jakarta adalah tangga kayu yang minim pegangan dan satu tangga yang dipakai bergantian naik turun. Maklum, gedungnya kan bekas Balai Kota Batavia.

Ruang Tahanan Pangeran Diponegoro ini menghadirkan cerita dengan animasi dan gambar, yang kontras dengan suasana kuno dari interior kamar tersebut. Animasi ditayangkan di layar yang menutupi dipan bercerita tentang kisah penangkapan Pangeran Diponegoro. Animasi-animasi dan bagian interaktif yang ada di Museum Sejarah Jakarta ini patut diapresiasi karena membuat kisah sejarah jadi lebih menarik bagi generasi sekarang.

Di gedung sebelahnya, sejarah Jakarta baru benar-benar dimulai. Diawali dengan Artefak Prasejarah dan Masa Tarumanegara seperti replika prasasti dari Kerajaan Tarumanegara yaitu Prasasti Ciaruteun dan Prasasti Kebon Kopi, jejak kaki Purnawarman yang ada di batu, dan fragmen keramik dari berbagai periode yang ditemukan di sekitar Jakarta pada masa lampau.

Fokus utama koleksi museum ini ada di lantai dua, yaitu Masa Kolonial Belanda (Batavia). Hati-hati naik tangganya ya. Di lantai dua ada koleksi Perabotan Antik seperti meja, kursi, lemari, dan tempat tidur bergaya Eropa dari abad ke-17 hingga ke-19 yang pernah digunakan di gedung-gedung pemerintahan dan rumah-rumah mewah di Batavia. Ada koleksi uang kuno yang dipajang di bagian depan.

Di sini juga ada balkon yang memberikan pemandangan Kota Tua secara keseluruhan.

Kembali lagi ke bawah, kita melanjutkan cerita tentang Batavia. Hati-hati turun tangganya, ya. Di lantai satu ini, kita perlahan-lahan kembali ke masa Jakarta sekarang. Ada permainan interaktif menyusun sebuah rumah daerah dengan layar touchscreen yang warna dan bentuknya bisa kita ganti-ganti sendiri.

Sebagai warga Jakarta, berkunjung ke Museum Sejarah Jakarta ini memberikan cerita sendiri untuk saya. Apa yang ada di museum ini sebagian sudah saya pelajari di sekolah, tapi melihat sendiri, membaca keterangan, dan mendengar ceritanya memberikan perspektif yang berbeda tentang Jakarta.

Beberapa hal yang patut diperhatikan kalau hendak berkunjung ke Museum Sejarah Jakarta.
  • Kalau bisa datang pagi-pagi saat masih sepi sehingga bisa menikmati koleksi dengan lebih leluasa. 
  • Kalau membawa anak kecil atau orang tua harap berhati-hati dengan tangga dan beberapa undakan yang ada. 
  • Luangkan waktu lihat satu-satu koleksinya tanpa terburu-buru.

Yuk ke museum.

Our Date is At:
Museum Sejarah Jakarta / Museum Fatahillah

Taman Fatahillah No.1, Pinangsia, Kec. Taman Sari, Kota Jakarta Barat, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 11110


Friday, April 25, 2025

Dari Masa Ke Masa, di National Videogame Museum

Sebagai (yang katanya) gamer, saya dan Dudu senang ketika menemukan ada National Videogame Museum. Ketika kita berkunjung ke daerah Dallas-Fort Worth area di Texas, kita menyempatkan diri berbelok ke Frisco untuk mampir.




Frisco adalah suburb kota Dallas, letaknya sekitar 30 miles arah utara. Cara paling mudah ke tempat ini adalah dengan menyetir mobil. National Videogame Museum ada di satu komplek yang sama dengan Sci-Tech Discovery Center yaitu museum untuk anak-anak dan Frisco Public Library. Parkirannya luas, tapi sering ada kunjungan anak sekolah. Meskipun termasuk “in the middle of nowhere” untuk saya, National Videogame Museum selalu ramai karena anak-anak ini.

Why a video game museum? Soalnya museum ini menawarkan sejarah video games, mulai dari pajangan konsol dan arcade jadul, hingga sebuah perjalanan interaktif yang akan membawa para pengunjung bernostalgia, sekaligus menambah wawasan tentang evolusi dunia game. Jangan langsung antipati dulu ya haha. Bukan gamer pun bisa kok mendapatkan manfaat dan kesenangan di sini. Buat saya dan Dudu, tempat ini jadi ajang berkenalan dengan dunia game di jaman masing-masing. Ibarat anak Gen Z ketemu disket dan kaset.

Museum ini terlihat sederhana dari luar. Namun, kami berdua betah stay berjam-jam karena ada banyak games yang bisa dimainkan secara gratis. Konon, museum ini adalah satu-satunya museum di Amerika Serikat yang didedikasikan untuk sejarah industri video game dan memiliki koleksi yang sangat besar.

Sunday, April 20, 2025

Cerita di Balik Oleh-Oleh yang Sering Dibeli

“Eh, lo mau pergi? Oleh-olehnya dong!”

Bagi banyak orang Indonesia, tradisi meminta oleh-oleh atau buah tangan setelah seseorang bepergian sudah sangat mengakar. Permintaan ini seringkali diungkapkan dengan nada bercanda namun tetap mengandung harapan untuk dibawakan sesuatu. Hal ini adalah hal paling disebelin oleh yang mau jalan-jalan karena jadi beban, tapi pas di lokasi akhirnya kepikiran.

Masalahnya, kebiasaan ini tidak hanya terbatas pada keluarga dekat atau teman akrab, tetapi juga bisa meluas ke rekan kerja atau bahkan kenalan yang tidak terlalu dekat. Rencananya cuma mau kasih oleh-oleh ke teman satu tim, terus kepikiran kayaknya bos juga harus dikasi. Lalu gimana dengan orang finance yang sering bantu kita bikin invoice last minute? Atau mas OB yang baik hati selalu membelikan makan siang kita? List yang tadinya pendek, tiba-tiba mengular dan entah sejak kapan koper kita penuh oleh-oleh.

Saya lebih suka pergi diam-diam. Ekspektasi membawa pulang sesuatu membuat saya jadi merasa terbebani saat berwisata. Tapi, ketika teman yang pernah mendapatkan oleh-oleh dari kita lalu membelikan barang sebagai timbal balik, rasanya senang. Atau ketika barang yang kita bawakan dari tempat wisata itu benar-benar disimpan dengan baik, rasanya jadi ikhlas.

Budget kita terbatas, beli apa buat oleh-oleh dong?

Benda-benda unik penuh makna untuk orang spesial.


Beberapa daerah memiliki toko atau butik yang fokus menjual produk-produk unggulan atau kerajinan khas daerah tersebut dengan kualitas yang baik. Maka dari itu, kalau sedang mengunjungi sebuah kota, apalagi kota kecil, saya akan berusaha untuk mampir ke downtown dan melihat-lihat ada toko lokal apa di sana. Kalau rajin, kita bisa mencari tahu ada event apa di hari kita berkunjung, ada bazaar lokal apa yang bisa jadi tempat kita membeli oleh-oleh spesial.